Masa berlangsungnya pemerintahan Ratu Kalinyamat adalah masa kejayaan aktivitas pertukangan dan perundagian yang berkaitan dengan pembangunan galangan kapal, pembuatan perahu nelayan, pembangunan rumah tradisional, istana, tempat tinggal para bangsawan, tempat tinggal atau rumah penduduk, rumah ibadah, makam dan perabot rumah tangga. Para perajin berhasil mewujudkan karya seni bernilai tinggi seperti tampak pada hasil pembangunan rumah tradisional Kudus. Bangunan itu dibuat penuh ukiran yang indah, rumit, ngrawit, ngremit, dan werit. Sesuai jamannya pembangunan rumah tradisional Kudus dipertimbangkan dengan cermat dan seksama, sehingga hasilnya dapat memenuhi kebutuhan fungsional dan memberikan kepuasan estetik yang penuh makna simbolikdan harapan hidup. Keselarasan, kesejahteraan, dan kedamaian nampaknya merupakan tujuan utama umat manusia, hal itu terbungkus dalam berbagai bentuk ornamentasi, seperti terekam dalam hiasan berbentuk tangga yang melambangkan jalan masuk sorga, atau lalu lintas turun-naiknya roh-roh nenek moyang. Hiasan swastika melambangkan keserasian dan keseimbangan hidup, hiasan pucuk rebung dimaksudkan sebagai gambaran tunas muda yang tumbuh dan merefleksikan regenerasi, kesuburan, dan kelangsungan hidup. Hiasan kala-makara merupakan gambaran terpautnya dunia atas dan dunia bawah atau hubungan kasih saying ibu dan anak, yang selanjutnya dikaitkan dengan kasih saying Dewi Sri Pelindung kesuburan tanah pertanian.
Ekspresi seni seperti dijelaskan di atas lazim terjadi dan dilakukan oleh perajin sehingga karya yang dihasilkan mempunyai arti penting sebagai catatan peristiwa, rekaman pola piker, perlaku hidup, pengetahuan, dan keterampilan masyarakat pendukungnya, yang disalurkan melalui perwujudan karya seni. Sistem pewarisan keahlian itu dilakukan secara turun temurun sehingga cabang seni ini dikategorikan sebagai seni tradisional.
Karya seni yang merepresentasikan nilai-nilai adiluhung seperti tercermin pada rumah tradisional Kudus, adalah salah satu tipe bangunan berstruktur kompleks, unik,ngremit, werit yang sampai kini tetap dikagumi masyarakat dan menjadi kebanggaan bangsa. Kekaguman itu tersirat dalam ungkapan simbolik yang berbunyi “ lembut bagaikan sutra dan ngrawit seperti rambut,”, suatu pernyataan yang mengakui keunggulan dan keindahan seni hasil karya perajin Jepara. Kehadiran seni tradisional itu dapat membangkitkan suasana nyaman, damai, anggun, bangga, dan monumental, bahkan menimbulkan minat untuk memiliki dan menikmatinya. Penyajian konstruksi dan ornamentasi yang disusun berlapis-lapis tumpang tindh dengan ceruk menjorok ke luar dank e dalam, mengingatkan pada tradisi seni sebelumnya seperti yang terpampang pada diding-dinding candi. Bentuk pilar dan panel dinding candi yang menjorok ke luar dank e dalam itu tampaknya melandasi penciptaan gebyok Kudus sehingga hasilnya memiliki gaya seni arsitektur yang unik dan spesifik.
Berbeda dengan hiasan panel pada dinding candi, motif hias pada panel gebyok Kudus didasarkan pada stilisasi tumbuhan, unsure-unsur geometis, pola permadani dan profil berukir. Semua itu terbangun menjadi satu kesatuan yang utuh dalam keseluruhan bentuk dekorasi dinding rumah tradisional tersebut. Motif hiasnya disusun dengan apik, cantik, estetik dan harmonis, membangkitkan rasa bangga dan kekaguman. Unsure ornament lainnya terdiri dari bentuk pilin yang disusun mirip tangga, bentuk tumpal yang menggambarkan pucuk rebung, buah nanas, swastika, meander dan banji. Bentuk sulur dan bunga padma yang menjulur tergerai pada vas bunga merupakan hamparan altar persembahan, sedangkan bentuk kaladan naga umumnya dikaitkan dengan dunia atas dan dunia bawah. Ayat-ayat suci Al Quran berupa kaligrafi Arab juga dimanfaatkan sebagai unsure hias, terutama untuk memperindah bangunan rumah ibadah, suatu hal yang menunjukkan relijiusitas masyarakat pendukungnya. Stilisasi bentuk burung dank era yang telah tersamar dalam bentuk kaligrafi arab, dewasa ini masih dapat disaksikan pada dinding makam Mantingan Jepara.
Produk lain yang kualitasnya setara dengan gebyok Kudus adalah slintru berukir tembus pandang yang berfungsi sebagai penyekat ruang untuk memisahkan ruang bagian dalam dan ruang bagian luar. Di balik slintru berukir krawangan yang indah dan rumit itu tersimpan maksud-maksud simbolik untuk menggambarkan alam piker orang Jawa. Slintru yang diukir tembus pandang (krawangan) kecuali berfungsi sebagai tirai pembatas, juga berguna untuk mengetahui berbagai peristiwa yang terjadi di luar ruang dalam dalam. Hal ini mencerminkan sikap hati-hati dan waspada. Hiasan pada mahkota slintru umumnya mengacu pada bentuk meru, suatu motif hias yang lazim dimanfaatkan pada produk seni zaman purba.
Produk lain yang memperlihatkan kualitas tinggi ialah gayour gong, yang terbuat khusus untuk upacara seremonial. Dilihat dari segi desain dan ukirannya, produk itu memperlihatkan teknik keterampilan yang sempurna mantap, sophisticated dan fantastisch.
Pada zaman pemerintahan Ratu Kalinyamat, bentuk barang dan unsure hias Eropa juga mwewarnai kegiatan pertukangan dan perundagian. Hal itu dapat diketahui melalui hasil stilisasi bunga dengan ceruk-ceruk tajam pada pilar gebyok Kudus mirip hiasan kapitil gaya seni Khorintia. Ketika itu, gaya seni Barok dan Racoco telah mempengaruhi bentuk ukir Jepara, karena menurut Lemara, pada abad ke 16, di negeri Belanda terjadi masa peralihan dari masa kondisi tertutup ke terbuka sehingga beteng-beteng kaum bangsawan menjadi terbuka sebagai akibat terjadinya perubahan besar di Eropa Barat yang memunculkan pola hidup individual. Rumah dan kamar semakin bertamah, kebutuhan perabot secara kuantitatif juga meningkat. Pada waktu itu telah terjadi penyeberangan di bidang keahlian yang mengakibatkan munculnya para professional multi ketrampilan. Para arsitek, selain membuat rencana bangunan juga membuat rancangan mebel ukir, tanpa peduli kesulitan teknis yang dihadapi perajin. Para perajin harus memecahkan sendiri masalah teknik baru pembuatan barang produksi berdasarkan teknik konstruksi yang lebih maju. Pada abad 17, yaitu pada masa pemerintahan Louis XIV, di perancis telah berdiri pabrik Gobelins yang beroperasi dalam skala besar dengan melibatkan ratusan perajin, seniman, decorator, dan pengukir untuk membuat kereta api, permadani, dan perabot rumah tangga berukir mewah. Pada pertengahan abad 18, Inggris memproduksi barang keperluan rumah tangga yang artistik dengan kemanfaatan (utility) dan daya tahan (durability) sejalan dengan perkembangan industrialisasi. Prancis memimpin perkembangan seni mebel ukir dengan gaya Louis ke XIV yang memuncak pada gaya Louis ke XVII. Pengaruh gaya seni mebel ukir Renaisans itu kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia, dan pada masa pemerintahan colonial gaya seni tersebut masuk ke bumi nusantara bersamaan dengan datangnya orang-orang Belanda dan Inggris.
Pada awalnya, barang mebel ukir yang digunakan oleh para bangsawan dan penguasa colonial diimpor dari Eropa Barat, namun beberapa sumber menjelaskan bahwa para penguasa Belanda mendatangkan tukang dari Eropa ke Indonesia untuk mengerjakan pembangunan dan pembuatan perabot rumah tangga. Mereka berbaur dengan tukang dari Cina dan Jawa sehingga terjadi pembauran gaya seni dan akulturasi budaya. Akibat pembauran tenaga teknik itu timbullah gaya seni Barok dan Racoco yang bekas-bekasnya dapat ditemukan di berbagai daerah di Jawa. Tiang bangunan ata kaki meja yang berukuran besar dan kokoh menunjukkan gaya seni Barok, sedangkan bentuk tiang bangunan, kaki kursi atau meja yang tampak ramping, mungil dan memberikan kesan ringan menunjukkan gaya seni Racoco.
Tradisi mebel ukir di jawa dimulai dari bentuk senthong dilengkapi dengan gladhak yang berada di senthong tengah rumah tinggal dan berfungsi sebagai tempat tidur. Perkembangan selanjutnya, muncul bentuk kursi yang dapat dirunut melalui keberadaan amben besar yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu sekaligus berfungsi sebagai tempat tidur. Umumnya para tamu duduk di atas amben bersama-sama dengan tuan rumah. Bentuk amben itu kemudian diberi sandaran sehingga berbentuk dengan sebutan glodhog, yaitu suatu jenis produk mebel yang berungsi sebagai tempat penyimpanan padi ata pecah belah.
Fakta yang ada menunjukkan, perkembangan mebel dimulai dari bentuk yang paling sederhana tanpa ukiran kemudian meningkat sampai pada mebel yang berukir indah, unik dan ringan. Pada akhirnya, produk mebel ukir yang dihasilkan dapat dikategorikan sebagai karya seni bermutu klasik, lengkap dengan daun meja marmer atau keramik porselin yang diimpor dari negeri China. Bahkan sudah sejak zaman dinasti Tang, keramik Cina yang berukuran serba besar sudah beredar di kawasan Nusantara, antara lain Kalimantan.
Pada abad ke 19, perkembangan industry ditandai dengan terjadinya suatu momentum teknik produksi mesin berhadapan dengan teknik buatan tangan. Beberapa indsutri mekanik membawa perubahan dramatis, seperti timbulnya industry tekstil yang makin menyudutkan unit-unit produksi kerajinan tangan.
Beberapa industry mekanik membawa perubahan dramatis, seperti timbulnya industry tekstil yang makin menyudutkan eksitensi unit-unit produksi kerajinan tangan. Peranan industry dengan memafaatkan desain produk menjadi semakin menguasai keadaan sehingga orang-orang Eropa menaruh curiga terhadap produk industri mesin. Atas jasa tulisan John Ruskin dan William Moris, timbul usaha untuk mengawinkan factor efisiensi dengan hiasan, seperti dapat diketahui melalui hadirnya perabot dari Michigan. Peristiwa itu lebih lanjut berpengaruh kuat bagi perkembangan industry seni kerajinan tangan dan industry mebel ukir di tanah air.
Abad ke 19 merupakan abad terpenting dalam pertumbuhan kegiatan industry seni dan kerajinan di kawasan Nusantara. Kegiatan industry seni dan kerajinan yang tergolong industry non-pertanian, pada decade awal abad itu menujukkan peranan yang besar bagi perekonomian masyarakat. Kegiatan industry non pertanian mulai diperhitungkan sebagai alternative pemecahan masalah ekonomi masyarakat yang sedang memburuk. Meskipun masih dalam kategori home industry, namun kegiatan di bidang mebel ukir sudah mengarah kepada unit usaha komersial dan makin menarik minat perajin, karena usaha itu telah dihargai dengan system kerja upah. Seperti dikemukakan oleh Walbeehm bahwa pada tahun 1804, para perajin sudah bekerja berdasarkan upah. Dia mengatakan, waarover hij vier dagen werk, f 2.5, terwil de groudstof-ijzer met een weinig staal hem nog geen f 0.5 kost. Lebih lanjut dikemukakan, bahwa para perajin mendapatkan upah yang lebih tinggi, terutama bagi mereka yang tinggal di pusat industry mebel ukir seperti di Jepara. Oleh karena itu, perajin banyak yang berdatangan ke pusat kota industry untuk bekerja dan memburu rejeki. Walaupun di kota besar itu , mereka dituntut memiliki multi keterampilan yang memadahi agar mampu bersaing dengan pekerja lainnya. Meskipun demikian, gelombang urbanisasi tidak terelakkan lagi. Seperti yang dinyatakan oleh Fernando, bahwa pada tahun 1828 di Pekalongan dan Banyuwangi telah terjadi the driving force of all industries and crafts.
Ketika pemerintah colonial menerapkan system tanam paksa pada tahun 1830, terjadilah degradasi nilai pada perekonomian masyarakat. Sesudah itu, kegiatan industri non pertanian di bidang kerajinan kayu menunjukkan peningkatan jumlah perajin yang sangat pesat. Semula kegiatan industri mebel ukir belum diperhitungkan sebagai unit usaha ekonomi yang berarti. Faktor fasiltias produksi, distribusi dan pemasaran menghambat perkembangannya, sehingga belum dapat menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Pada tahun 1840, di Rembang dan Surabaya terdapat 700 dan 920 tukang dan undagi yang mengerjakan pembuatan kapal. Selain itu kegiatan pertukangan di bidang pembangunan rumah, pembuatan mebel ukir, dan seni kerajinan lainnya terus mengalami perkembangan sebagai kegiatan usaha industry yang menguntungkan.
Pada tahun 1833-1850, jumlah perajin di tanah Jawa tercatat dari 1.209.600 orang menjadi 2.077.550 orang. Apabila pada awal pertumbuhannya terasa sangat lamban, namun setelah terbukti kegiatan industry non pertanian atau industry kecil tersebut dapat meberikan kontribusi positif terhadap perbaikan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, perkembangannya mengalami peningkatan yang cepat. Pada tahun 1850, dinyatakan bahwa: the remaining 23% of all economically active people engaged in non agricultural economic activities.
Kegiatan industry seni kerajinan dan pertukangan dipandang sebagai satu alternative pemecahan ekonomi yang tepat dan meyakinkan. Namun pada akhir tahun 1870 jumlah penguasaha industry non pertanian di Jawa menurun tajam, yaitu tinggal 8000 perajin, sebagai akibat diterapkan politik baru yaitu adanya penghapusan system feudal kea rah modernisasi yang menimbulkan sikap ragu di kalangan perajin untuk tetap menekuni bidang profesinya. Perubahan itu sesungguhnya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah colonial melalui dua sisi, yaitu melalui peroduksi rakyat dan melalui produksi perusahaan. Kegiatan perajin yang paling menonjol pada sekitar tahun 1870 an ialah pekerjaan di bidang pembangunan galangan kapal, pembuatan perahu layar, pembangunan rumah, pembuatan mebel ukir, dan industry tekstil. Perusahaan industri kapal yang aktif melaksanakan kegiatannya antara lain di Surabaya, Semarang, dan Cirebon, sedangkan di Jepara sudah tidak populer lagi sebagai daerah produsen kapal. Oleh karena itu, banyak perajin Jepara yang mengembara ke kota dan bekerja di perusahaan lain. Menurut Burger, sekitar tahun 1880-1890, rakyat mendatangi perusahaan untuk mencari pekerjaan. RUpanya, upaya penduduk untuk mencari pekerjaan di perusahaan lain itu karena didorong oleh desakan ekonomi sebagai akibat berkurangnya tanah garapan. Pada akhir abad ke 19 tenaga khusus berketerampilan tinggi makin berkembang untuk melayani permintaan masyarakat di luar komunitasnya.
Di Jepara, proses produksi galangan kapal dalam jumlah kecil tetap berlangsung sampai dengan dekade ke 4 abad ke 20. Kelangsungan industri kapal di Jepara itu didukung oleh adanya pendidikan sekolah teknik negeri yang memilki jurusan perkapalan. Di jurusan itu para siswa diberi tugas praktek kerja untuk membuat kapal sesuai kurikulum yang ada. Akan tetapi sesudah tahun 1959, jurusan perkapalan itu ditutup oleh pemerintah karena dipandang sudah tidak menguntungkan bagi masa depan peserta didik. Kegiatan industri selanjutnya berkaitan dengan permbuatan perabot rumah tangga, antara lain almari, meja, kursi, bangku, slintru, dan perabot berukir lainnya. Masyarakat berusaha meniru kehidupan keraton yang dianggap ideal, mereka mencoba membuat barang kebutuhan hidup seperti yang ada di dalam istana atau keraton.
Umumnya masyarakat membuat sendiri atau mendatangkan tenaga terampil di sekitar desanya untuk membuatkan barang yang diperlukan.
Pada tahun 1880, usaha industri kecil di Jepara baru mencapai 10,5% atau 12.215 perusahaan yang melibatkan 116.456 buruh. Selebihnya sebesar 76,8 % atau sebanyak 89.332 pengusaha bergerak di bidang pertanian., 7,8% atau 9.102 usaha dagang, dan 3% atau 3.508 pengusaha bergerak di bidang layanan publik. Melihat potensi perajin yang besar di Jepara itu, RA Kartini mencoba menghimpun dan mengembangkannya. Pada dekade terakhir abad ke 19, tidak kurang dari 50 orang tenaga kerja ahli mebel ukir dikumpulkan Kartin di kompleks kabupaten Jepara untuk mengerjakan berbagai pesanan. Pesanan itu datang dari kalangan bangsawan, orang kaya, pejabat pemerintah dan orang orang Eropa Barat. Berkembangnya pesanan dari Eropa itu berhubungan erat dengan usaha Kartini mengikuterstakan karya perajin Jepara pada Pameran Karya Wanita di Den Haag tahun 1898. Karya perajin Jepara yang dipamerkan itu ternyata memancing minat pembeli dan pecinta seni di Eropa untuk membantu melestarikan dan mengembangkannya. Hal itu terbukti dengan hadirinya parat turis Eropa barat ke Jepara dan terbitnya beberapa artikel yang dimuat di media massa Eropa Barat.
Baca Selengkapnya ....