legenda ukir jepara

Posted by Unknown Senin, 10 September 2012 0 komentar
Kabupaten Jepara terkenal dengan ukiran kayu para pengrajinnya. Ukiran ini mereka namakan dengan istilah Ukiran Jeporonan, yang bermakna ukiran dan meubel dari Jepara.

Ukiran dan kerajinan Jepara memang khas dan diminati konsumen, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Namun tahukah Anda kemahiran pengrajin Jepara ini konon berhubungan dengan sebuah cerita legenda yang menyertainya.
Alkisah, hiduplah seorang seniman bernama Ki Sungging Adi Luwih yang cukup terkenal. Suatu hari, keahliaan sang seniman akhirnya terdengar oleh seorang Raja. Sang seniman diundang oleh raja untuk menggambar sang permaisuri, hingga akhirnya Ki Sungging Adi Luwih menyanggupinya.
Dengan cekatan dan keahlian lukisannya Ki Sunggih berhasil menyelesaikan lukisannya sehingga gambar permaisuri sangat mirip dengan yang asli. Hanya saja ada kekeliruan yang berujung pada keputusan Raja untuk menghukum Sungging dengan hukuman yang lebih berat lagi.
Pada saat melukis sang permasiusri, ternyata Ki Sungging tidak menyadari saat sedang asyik menggambar rambut, ada satu tetes cat hitamnya yang terjatuh. Yang membuat heboh, jatuhnya tetesan cat itu memercik tepat di pangkal paha gambar permaisuri yang tampak seperti tahi lalat.
Mengetahui lukisan tersebut, sang Raja murka karena mengira Ki Sungging telah melihat permaisuri telanjang. Sang raja akhirnya menghukum Ki Sungging untuk membuat patung permaisuri di atas langit atau di udara. Kalau sebelumnya dia hanya melukis, sekarang dihukum dengan yang lebih berat, yakni membuat patung dengan gambar sang permaisuri lagi.
Ki Sungging pun akhirnya menyanggupi permintaan Raja dan dengan dibantu kesaktian Ki Sungging, ia bisa terbang dengan dibantu layang-layang dan membuat patung di udara.
Namun, malang tak dapat dihindari, ketika patung masih setengah jadi, tiba-tiba angin bertiup kencang. Ki Sungging yang terus berkonsentrasi tidak mampu mengendalikan layang-layang yang dikendarai hingga akhirya terlempar bersama patung dan alat pahatnya.
Konon, dari sini patung setengah jadi tersebut terlempar hingga pulau Bali, dan selanjutnya patung tersebut ditemukan masyarakat Bali. Hingga sekarang, masyarakat Bali tersebut dikenal juga sebagai ahli membuat patung. Sementara alat pahat yang digunakan Ki Sungging terlempar hingga jatuh di belakang gunung di kawasan Jepara.
Dari balik kawasan gunung inilah, menurut cerita legenda, seni ukir Jepara mulai berkembang dan terus maju hingga populer seperti sekarang ini.

Baca Selengkapnya ....

ukir jepara pada masa pemerintahan ratu kalinyamat

Posted by Unknown 0 komentar
Masa berlangsungnya pemerintahan Ratu Kalinyamat adalah masa kejayaan aktivitas pertukangan dan perundagian yang berkaitan dengan pembangunan galangan kapal, pembuatan perahu nelayan, pembangunan rumah tradisional, istana, tempat tinggal para bangsawan, tempat tinggal atau rumah penduduk, rumah ibadah, makam dan perabot rumah tangga. Para perajin berhasil mewujudkan karya seni bernilai tinggi seperti tampak pada hasil pembangunan rumah tradisional Kudus. Bangunan itu dibuat penuh ukiran yang indah, rumit, ngrawit, ngremit, dan werit. Sesuai jamannya pembangunan rumah tradisional Kudus dipertimbangkan dengan cermat dan seksama, sehingga hasilnya dapat memenuhi kebutuhan fungsional dan memberikan kepuasan estetik yang penuh makna simbolikdan harapan hidup. Keselarasan, kesejahteraan, dan kedamaian nampaknya merupakan tujuan utama umat manusia, hal itu terbungkus dalam berbagai bentuk ornamentasi, seperti terekam dalam hiasan berbentuk tangga yang melambangkan jalan masuk sorga, atau lalu lintas turun-naiknya roh-roh nenek moyang. Hiasan swastika melambangkan keserasian dan keseimbangan hidup, hiasan pucuk rebung dimaksudkan sebagai gambaran tunas muda yang tumbuh dan merefleksikan regenerasi, kesuburan, dan kelangsungan hidup. Hiasan kala-makara merupakan gambaran terpautnya dunia atas dan dunia bawah atau hubungan kasih saying ibu dan anak, yang selanjutnya dikaitkan dengan kasih saying Dewi Sri Pelindung kesuburan tanah pertanian.

Ekspresi seni seperti dijelaskan di atas lazim terjadi dan dilakukan oleh perajin sehingga karya yang dihasilkan mempunyai arti penting sebagai catatan peristiwa, rekaman pola piker, perlaku hidup, pengetahuan, dan keterampilan masyarakat pendukungnya, yang disalurkan melalui perwujudan karya seni. Sistem pewarisan keahlian itu dilakukan secara turun temurun sehingga cabang seni ini dikategorikan sebagai seni tradisional.

Karya seni yang merepresentasikan nilai-nilai adiluhung seperti tercermin pada rumah tradisional Kudus, adalah salah satu tipe bangunan berstruktur kompleks, unik,ngremit, werit yang sampai kini tetap dikagumi masyarakat dan menjadi kebanggaan bangsa. Kekaguman itu tersirat dalam ungkapan simbolik yang berbunyi “ lembut bagaikan sutra dan ngrawit seperti rambut,”, suatu pernyataan yang mengakui keunggulan dan keindahan seni hasil karya perajin Jepara. Kehadiran seni tradisional itu dapat membangkitkan suasana nyaman, damai, anggun, bangga, dan monumental, bahkan menimbulkan minat untuk memiliki dan menikmatinya. Penyajian konstruksi dan ornamentasi yang disusun berlapis-lapis tumpang tindh dengan ceruk menjorok ke luar dank e dalam, mengingatkan pada tradisi seni sebelumnya seperti yang terpampang pada diding-dinding candi. Bentuk pilar dan panel dinding candi yang menjorok ke luar dank e dalam itu tampaknya melandasi penciptaan gebyok Kudus sehingga hasilnya memiliki gaya seni arsitektur yang unik dan spesifik.

Berbeda dengan hiasan panel pada dinding candi, motif hias pada panel gebyok Kudus didasarkan pada stilisasi tumbuhan, unsure-unsur geometis, pola permadani dan profil berukir. Semua itu terbangun menjadi satu kesatuan yang utuh dalam keseluruhan bentuk dekorasi dinding rumah tradisional tersebut. Motif hiasnya disusun dengan apik, cantik, estetik dan harmonis, membangkitkan rasa bangga dan kekaguman. Unsure ornament lainnya terdiri dari bentuk pilin yang disusun mirip tangga, bentuk tumpal yang menggambarkan pucuk rebung, buah nanas, swastika, meander dan banji. Bentuk sulur dan bunga padma yang menjulur tergerai pada vas bunga merupakan hamparan altar persembahan, sedangkan bentuk kaladan naga umumnya dikaitkan dengan dunia atas dan dunia bawah. Ayat-ayat suci Al Quran berupa kaligrafi Arab juga dimanfaatkan sebagai unsure hias, terutama untuk memperindah bangunan rumah ibadah, suatu hal yang menunjukkan relijiusitas masyarakat pendukungnya. Stilisasi bentuk burung dank era yang telah tersamar dalam bentuk kaligrafi arab, dewasa ini masih dapat disaksikan pada dinding makam Mantingan Jepara.

Produk lain yang kualitasnya setara dengan gebyok Kudus adalah slintru berukir tembus pandang yang berfungsi sebagai penyekat ruang untuk memisahkan ruang bagian dalam dan ruang bagian luar. Di balik slintru berukir krawangan yang indah dan rumit itu tersimpan maksud-maksud simbolik untuk menggambarkan alam piker orang Jawa. Slintru yang diukir tembus pandang (krawangan) kecuali berfungsi sebagai tirai pembatas, juga berguna untuk mengetahui berbagai peristiwa yang terjadi di luar ruang dalam dalam. Hal ini mencerminkan sikap hati-hati dan waspada. Hiasan pada mahkota slintru umumnya mengacu pada bentuk meru, suatu motif hias yang lazim dimanfaatkan pada produk seni zaman purba.

Produk lain yang memperlihatkan kualitas tinggi ialah gayour gong, yang terbuat khusus untuk upacara seremonial. Dilihat dari segi desain dan ukirannya, produk itu memperlihatkan teknik keterampilan yang sempurna mantap, sophisticated dan fantastisch.

Pada zaman pemerintahan Ratu Kalinyamat, bentuk barang dan unsure hias Eropa juga mwewarnai kegiatan pertukangan dan perundagian. Hal itu dapat diketahui melalui hasil stilisasi bunga dengan ceruk-ceruk tajam pada pilar gebyok Kudus mirip hiasan kapitil gaya seni Khorintia. Ketika itu, gaya seni Barok dan Racoco telah mempengaruhi bentuk ukir Jepara, karena menurut Lemara, pada abad ke 16, di negeri Belanda terjadi masa peralihan dari masa kondisi tertutup ke terbuka sehingga beteng-beteng kaum bangsawan menjadi terbuka sebagai akibat terjadinya perubahan besar di Eropa Barat yang memunculkan pola hidup individual. Rumah dan kamar semakin bertamah, kebutuhan perabot secara kuantitatif juga meningkat. Pada waktu itu telah terjadi penyeberangan di bidang keahlian yang mengakibatkan munculnya para professional multi ketrampilan. Para arsitek, selain membuat rencana bangunan juga membuat rancangan mebel ukir, tanpa peduli kesulitan teknis yang dihadapi perajin. Para perajin harus memecahkan sendiri masalah teknik baru pembuatan barang produksi berdasarkan teknik konstruksi yang lebih maju. Pada abad 17, yaitu pada masa pemerintahan Louis XIV, di perancis telah berdiri pabrik Gobelins yang beroperasi dalam skala besar dengan melibatkan ratusan perajin, seniman, decorator, dan pengukir untuk membuat kereta api, permadani, dan perabot rumah tangga berukir mewah. Pada pertengahan abad 18, Inggris memproduksi barang keperluan rumah tangga yang artistik dengan kemanfaatan (utility) dan daya tahan (durability) sejalan dengan perkembangan industrialisasi. Prancis memimpin perkembangan seni mebel ukir dengan gaya Louis ke XIV yang memuncak pada gaya Louis ke XVII. Pengaruh gaya seni mebel ukir Renaisans itu kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia, dan pada masa pemerintahan colonial gaya seni tersebut masuk ke bumi nusantara bersamaan dengan datangnya orang-orang Belanda dan Inggris.

Pada awalnya, barang mebel ukir yang digunakan oleh para bangsawan dan penguasa colonial diimpor dari Eropa Barat, namun beberapa sumber menjelaskan bahwa para penguasa Belanda mendatangkan tukang dari Eropa ke Indonesia untuk mengerjakan pembangunan dan pembuatan perabot rumah tangga. Mereka berbaur dengan tukang dari Cina dan Jawa sehingga terjadi pembauran gaya seni dan akulturasi budaya. Akibat pembauran tenaga teknik itu timbullah gaya seni Barok dan Racoco yang bekas-bekasnya dapat ditemukan di berbagai daerah di Jawa. Tiang bangunan ata kaki meja yang berukuran besar dan kokoh menunjukkan gaya seni Barok, sedangkan bentuk tiang bangunan, kaki kursi atau meja yang tampak ramping, mungil dan memberikan kesan ringan menunjukkan gaya seni Racoco.

Tradisi mebel ukir di jawa dimulai dari bentuk senthong dilengkapi dengan gladhak yang berada di senthong tengah rumah tinggal dan berfungsi sebagai tempat tidur. Perkembangan selanjutnya, muncul bentuk kursi yang dapat dirunut melalui keberadaan amben besar yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu sekaligus berfungsi sebagai tempat tidur. Umumnya para tamu duduk di atas amben bersama-sama dengan tuan rumah. Bentuk amben itu kemudian diberi sandaran sehingga berbentuk dengan sebutan glodhog, yaitu suatu jenis produk mebel yang berungsi sebagai tempat penyimpanan padi ata pecah belah.

Fakta yang ada menunjukkan, perkembangan mebel dimulai dari bentuk yang paling sederhana tanpa ukiran kemudian meningkat sampai pada mebel yang berukir indah, unik dan ringan. Pada akhirnya, produk mebel ukir yang dihasilkan dapat dikategorikan sebagai karya seni bermutu klasik, lengkap dengan daun meja marmer atau keramik porselin yang diimpor dari negeri China. Bahkan sudah sejak zaman dinasti Tang, keramik Cina yang berukuran serba besar sudah beredar di kawasan Nusantara, antara lain Kalimantan.

Pada abad ke 19, perkembangan industry ditandai dengan terjadinya suatu momentum teknik produksi mesin berhadapan dengan teknik buatan tangan. Beberapa indsutri mekanik membawa perubahan dramatis, seperti timbulnya industry tekstil yang makin menyudutkan unit-unit produksi kerajinan tangan.

Beberapa industry mekanik membawa perubahan dramatis, seperti timbulnya industry tekstil yang makin menyudutkan eksitensi unit-unit produksi kerajinan tangan. Peranan industry dengan memafaatkan desain produk menjadi semakin menguasai keadaan sehingga orang-orang Eropa menaruh curiga terhadap produk industri mesin. Atas jasa tulisan John Ruskin dan William Moris, timbul usaha untuk mengawinkan factor efisiensi dengan hiasan, seperti dapat diketahui melalui hadirnya perabot dari Michigan. Peristiwa itu lebih lanjut berpengaruh kuat bagi perkembangan industry seni kerajinan tangan dan industry mebel ukir di tanah air.

Abad ke 19 merupakan abad terpenting dalam pertumbuhan kegiatan industry seni dan kerajinan di kawasan Nusantara. Kegiatan industry seni dan kerajinan yang tergolong industry non-pertanian, pada decade awal abad itu menujukkan peranan yang besar bagi perekonomian masyarakat. Kegiatan industry non pertanian mulai diperhitungkan sebagai alternative pemecahan masalah ekonomi masyarakat yang sedang memburuk. Meskipun masih dalam kategori home industry, namun kegiatan di bidang mebel ukir sudah mengarah kepada unit usaha komersial dan makin menarik minat perajin, karena usaha itu telah dihargai dengan system kerja upah. Seperti dikemukakan oleh Walbeehm bahwa pada tahun 1804, para perajin sudah bekerja berdasarkan upah. Dia mengatakan, waarover hij vier dagen werk, f 2.5, terwil de groudstof-ijzer met een weinig staal hem nog geen f 0.5 kost. Lebih lanjut dikemukakan, bahwa para perajin mendapatkan upah yang lebih tinggi, terutama bagi mereka yang tinggal di pusat industry mebel ukir seperti di Jepara. Oleh karena itu, perajin banyak yang berdatangan ke pusat kota industry untuk bekerja dan memburu rejeki. Walaupun di kota besar itu , mereka dituntut memiliki multi keterampilan yang memadahi agar mampu bersaing dengan pekerja lainnya. Meskipun demikian, gelombang urbanisasi tidak terelakkan lagi. Seperti yang dinyatakan oleh Fernando, bahwa pada tahun 1828 di Pekalongan dan Banyuwangi telah terjadi the driving force of all industries and crafts.

Ketika pemerintah colonial menerapkan system tanam paksa pada tahun 1830, terjadilah degradasi nilai pada perekonomian masyarakat. Sesudah itu, kegiatan industri non pertanian di bidang kerajinan kayu menunjukkan peningkatan jumlah perajin yang sangat pesat. Semula kegiatan industri mebel ukir belum diperhitungkan sebagai unit usaha ekonomi yang berarti. Faktor fasiltias produksi, distribusi dan pemasaran menghambat perkembangannya, sehingga belum dapat menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Pada tahun 1840, di Rembang dan Surabaya terdapat 700 dan 920 tukang dan undagi yang mengerjakan pembuatan kapal. Selain itu kegiatan pertukangan di bidang pembangunan rumah, pembuatan mebel ukir, dan seni kerajinan lainnya terus mengalami perkembangan sebagai kegiatan usaha industry yang menguntungkan.

Pada tahun 1833-1850, jumlah perajin di tanah Jawa tercatat dari 1.209.600 orang menjadi 2.077.550 orang. Apabila pada awal pertumbuhannya terasa sangat lamban, namun setelah terbukti kegiatan industry non pertanian atau industry kecil tersebut dapat meberikan kontribusi positif terhadap perbaikan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, perkembangannya mengalami peningkatan yang cepat. Pada tahun 1850, dinyatakan bahwa: the remaining 23% of all economically active people engaged in non agricultural economic activities.

Kegiatan industry seni kerajinan dan pertukangan dipandang sebagai satu alternative pemecahan ekonomi yang tepat dan meyakinkan. Namun pada akhir tahun 1870 jumlah penguasaha industry non pertanian di Jawa menurun tajam, yaitu tinggal 8000 perajin, sebagai akibat diterapkan politik baru yaitu adanya penghapusan system feudal kea rah modernisasi yang menimbulkan sikap ragu di kalangan perajin untuk tetap menekuni bidang profesinya. Perubahan itu sesungguhnya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah colonial melalui dua sisi, yaitu melalui peroduksi rakyat dan melalui produksi perusahaan. Kegiatan perajin yang paling menonjol pada sekitar tahun 1870 an ialah pekerjaan di bidang pembangunan galangan kapal, pembuatan perahu layar, pembangunan rumah, pembuatan mebel ukir, dan industry tekstil. Perusahaan industri kapal yang aktif melaksanakan kegiatannya antara lain di Surabaya, Semarang, dan Cirebon, sedangkan di Jepara sudah tidak populer lagi sebagai daerah produsen kapal. Oleh karena itu, banyak perajin Jepara yang mengembara ke kota dan bekerja di perusahaan lain. Menurut Burger, sekitar tahun 1880-1890, rakyat mendatangi perusahaan untuk mencari pekerjaan. RUpanya, upaya penduduk untuk mencari pekerjaan di perusahaan lain itu karena didorong oleh desakan ekonomi sebagai akibat berkurangnya tanah garapan. Pada akhir abad ke 19 tenaga khusus berketerampilan tinggi makin berkembang untuk melayani permintaan masyarakat di luar komunitasnya.

Di Jepara, proses produksi galangan kapal dalam jumlah kecil tetap berlangsung sampai dengan dekade ke 4 abad ke 20. Kelangsungan industri kapal di Jepara itu didukung oleh adanya pendidikan sekolah teknik negeri yang memilki jurusan perkapalan. Di jurusan itu para siswa diberi tugas praktek kerja untuk membuat kapal sesuai kurikulum yang ada. Akan tetapi sesudah tahun 1959, jurusan perkapalan itu ditutup oleh pemerintah karena dipandang sudah tidak menguntungkan bagi masa depan peserta didik. Kegiatan industri selanjutnya berkaitan dengan permbuatan perabot rumah tangga, antara lain almari, meja, kursi, bangku, slintru, dan perabot berukir lainnya. Masyarakat berusaha meniru kehidupan keraton yang dianggap ideal, mereka mencoba membuat barang kebutuhan hidup seperti yang ada di dalam istana atau keraton.

Umumnya masyarakat membuat sendiri atau mendatangkan tenaga terampil di sekitar desanya untuk membuatkan barang yang diperlukan.

Pada tahun 1880, usaha industri kecil di Jepara baru mencapai 10,5% atau 12.215 perusahaan yang melibatkan 116.456 buruh. Selebihnya sebesar 76,8 % atau sebanyak 89.332 pengusaha bergerak di bidang pertanian., 7,8% atau 9.102 usaha dagang, dan 3% atau 3.508 pengusaha bergerak di bidang layanan publik. Melihat potensi perajin yang besar di Jepara itu, RA Kartini mencoba menghimpun dan mengembangkannya. Pada dekade terakhir abad ke 19, tidak kurang dari 50 orang tenaga kerja ahli mebel ukir dikumpulkan Kartin di kompleks kabupaten Jepara untuk mengerjakan berbagai pesanan. Pesanan itu datang dari kalangan bangsawan, orang kaya, pejabat pemerintah dan orang orang Eropa Barat. Berkembangnya pesanan dari Eropa itu berhubungan erat dengan usaha Kartini mengikuterstakan karya perajin Jepara pada Pameran Karya Wanita di Den Haag tahun 1898. Karya perajin Jepara yang dipamerkan itu ternyata memancing minat pembeli dan pecinta seni di Eropa untuk membantu melestarikan dan mengembangkannya. Hal itu terbukti dengan hadirinya parat turis Eropa barat ke Jepara dan terbitnya beberapa artikel yang dimuat di media massa Eropa Barat.

Baca Selengkapnya ....

awal mula seni ukir jepara

Posted by Unknown 1 komentar
       Jepara punya ungkapan yang dilontarkan oleh perajin mebel ukir bahwa “hidup atau mati bersama-sama dengan kayu”. Ungkapan in menunjuk suatu tekad bulat dan mantap dari lubuh hati yang teguh dalam menekuni bidang profesinya, meskipun berhadapan dengan berbagai rintangan dan hambatan.

       Sesungguhnya, jepara adalah sebuah kota kecil terletak di kawasan pantai utara Jawa, akan tetapi Jepara memilik sejarah yang amat panjang. Pada abad ke 7 di Jawa terdapat sebuah kerajaan bernama Ho-Ling yang oleh para pakar disamakan dengan Kalingga. Diduga kerajaan itu berada di Jepara. Pada 674 Kalingga diperintah oleh seorang raja perempuan bernama Ratu Shima, yang merintis kerajaannya menjadi kota pelabuhan. Kelak, kota pelabuhan itu banyak dikunjungi oleh kapal asing, baik yang dating dari india, arab, Cina, Kamboja, maupun dari Eropa Barat. Jepara kemudian menjadi sangat ramai oleh kesibukan di bidang pelayaran, perniagaan, perdagangan dan menjadi salah satu pintu gerbang masukknya berbagai pengaruh asing. Akibatnya, di satu sisi telah terjadi proses urbanisasi, di sisi lain terjadi akulturasi seni dan budaya. Menurut Groneveldt, kerajaaan Kalingga berlangsung sejak abad ke 7 sampai abad ke 9, sesudah itu pusat kerajaan berpindah ke selatan untuk selanjutnya bergeser ke Timur.

         Pada abad ke 11 sampai ke 15 hubungan kerajaan majapahit dengan Campa dan Cina sudah sangat akrab. Para penguasa kearajaan saling berkunjung dan member upeti, namun yang terjadi kadang-kadang sebaliknya, saling menyerang dan menguasai untuk meluaskan pengaruh kekuasaan, wilayah perniagaan, dan daerah perdagangan. Di samping itu, para sufi dan penyebar agama Islam juga berdatangan, diantaranya, Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah, selain sebagai pelopor dan penyebar Islam, juga menjadi raja, sehingga dia mendapat julukan Pandita Ratu. Menurut berita-berita Portugis, sejak pertengahan abad ke 16, Jepara dipimpin oleh raja perempuan bernama Ratu Kalinyamat yang akrab dengan penerus kekuasaan Demak Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Pada masanya, Ratu Kalinyamat berhasil mengangkat Jepara menjadi salah satu ibukota dan pelabuhan terpenting di pantai pesisir utara tanah jawa.

         Pada abad ke 16 sampai 19, kota Demak dan Jepara menjadi dwikota yang berkuasa. Graaf menyatakan, mungkin Jepara adalah kota tua, lebih tua dari Demak. Dua kota itu sangat penting bagi pemerintah, baik pada masa pemerintahan kerajaan Demak, Pajang, Mataram, maupun pada masa pemerintahan Kolonial. Pada tahun 1599, Jepara ditaklukkan oleh Panembahan Senopati, sehingga eksistensinya berada di bawah kekuasaan Mataram. Meskipun demikian, Jepara tetap merupakan pelabuhan penting dan mempunyai peranan yang besar bagi kerajaan. Pada tahun 1615, orang-orang Belanda melaporkan telah bertemu sekitar 60 hingga 80 jung dari di dekat pantai Sumatera, sebagian besar diantaranya berasal dari Jepara. Pada waktu itu, wilayah Pesisir Mataram dibagi dua bagian, yaitu Tlatah Pesisir Kulon dan Tlatah Pesisir Wetan. Jepara termasuk wilayah pesisir wetan. Pada abad ke 18, usat pemerintahan dipindahkan ke Semarang, akibatnya pelabuhan Jepara mengalami kemunduran hebat.

        Pada akhir abad ke 19 sampai awal abad ke 20, Jepara tampil kembali dalam percaturan internasional dengan hadirnya RA Kartini, seorang tokoh gerakan emansipasi wanita yang secara cemerlang dan berhasil meletakkan dasar-dasar perjuangan bagi kaumnya. Suatu pergerakan yang mengantarkannya diakui sebagai pelopor pergerakan wanita. Kartini juga memikirkan masalah pendidikan bagi masa depan bangsanya, suatu gagasan yang mengilhami lahirnya model pendidikan seperti yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara. Ia sangat memperhatikan kesejahteraan hidup rakyat kecil dan berusaha keras untuk mengangkat dan mengembangkan potensi daerah, khususnya di bidang seni Kerajinan.

       Dewasa ini, Jepara lebih dikenal sebagai pusat industry seni kerajinan mebel ukir kayu, suatu jenis kegiatan seni tradisi pertukangan dan perundagian yang telah berkembang menjadi salah atu unit usaha industry yang handal. Hasil produksnya telah memasuki daerah pemasaran yang luas, baik pada tingkat lokal, nasional, regional, maupun internasional, antara lain di lima benua, yaitu di Asia, Afrika, Australia, dan Eropa.

Baca Selengkapnya ....

sejarah ukir jepara

Posted by Unknown 0 komentar
Menurut Legenda

Dikisahkan seorang ahli seni pahat dan lukis bernama Prabangkara yang hidup pada masa Prabu Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, pada suatu ketika sang raja menyuruh Prabangkara untuk membuat lukisan permaisuri raja sebagai ungkapan rasa cinta beliau pada permaisurinya yang sangat cantik dan mempesona.

Lukisan permaisuri yang tanpa busana itu dapat diselesaikan oleh Prabangkara dengan sempurna dan tentu saja hal ini membuat Raja Brawijaya menjadi curiga karena pada bagian tubuh tertentu dan rahasia terdapat tanda alami/khusus yang terdapat pula pada lukisan serta tempatnya/posisi dan bentuknya persis. Dengan suatu tipu muslihat, Prabangkara dengan segala peralatannya dibuang dengan cara diikat pada sebuah laying-layang yang setelah sampai di angkasa diputus talinya.

Dalam keadaan melayang-layang inilah pahat Prabangkara jatuh di suatu desa yang dikenal dengan nama Belakang Gunung di dekat kota Jepara.

Di desa kecil sebelah utara kota Jepara tersebut sampai sekarang memang banyak terdapat pengrajin ukir yang berkualitas tinggi. Namun asal mula adanya ukiran disini apakah memang betul disebabkan karena jatuhnya pahat Prabangkara, belum ada data sejarah yang mendukungnya.

Menurut Sejarah

Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, terdapat seorang patih bernama Sungging Badarduwung yang berasal dari Campa (Kamboja) ternyata seorang ahli memahat pula. Sampai kini hasil karya Patih tersebut masih bisa dilihat di komplek Masjid Kuno dan Makam Ratu Kalinyamat yang dibangun pada abad XVI.

Keruntuhan Kerajaan Majapahit telah menyebabkan tersebarnya para ahli dan seniman hindu ke berbagai wilayah paruh pertama abad XVI. Di dalam pengembangannya, seniman-seniman tersebut tetap mengembangkan keahliannya dengan menyesuaikan identitas di daerah baru tersebut sehingga timbulah macam-macam motif kedaerahan seperti : Motif Majapahit, Bali, Mataram, Pajajaran, dan Jepara yang berkembang di Jepara hingga kini.

Sumber: http://www.gojepara.com/id/seni-ukir-jepara.html

Baca Selengkapnya ....

Kejaksaan Agung Indonesia

Posted by Unknown Jumat, 07 September 2012 0 komentar

Kejaksaan Agung (disingkat Kejakgung atau Kejagung) adalah lembaga kejaksaan yang berkedudukan di ibukota negara Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Indonesia.

Kejaksaan Agung, kejaksaan tinggi (berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi) dan kejaksaan negeri (berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota) merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan, di mana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.
[sunting] Unsur pimpinan dan unsur pembantu pimpinan

Unsur pimpinan Kejaksaan Agung terdiri atas Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung, keduanya merupakan satu kesatuan.

* Jaksa Agung (Jakgung) merupakan pejabat negara, pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang Kejaksaan Indonesia. Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Jaksa Agung Indonesia saat ini adalah Basrief Arief, yang menjabat sejak tahun 2010
* Wakil Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul Jaksa Agung, dan bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.

Sedangkan unsur pembantu pimpinan adalah Jaksa Agung Muda dan Wakil Jaksa Agung Muda. Terdapat 6 Jaksa Agung Muda, yaitu:

* Jaksa Agung Muda Pembinaan
* Jaksa Agung Muda Intelijen
* Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum
* Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus
* Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara
* Jaksa Agung Muda Pengawasan

[sunting] Tugas dan wewenang Jaksa Agung

Tugas dan wewenang Jaksa Agung adalah:

* menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan
* mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang
* mengesampingkan perkara demi kepentingan umum

* mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara

* dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;

* mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam negeri, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri, atas rekomendasi dokter.

Posted by Admin at 9:28 AM
Labels: Hukum, Makalah Hukum

Baca Selengkapnya ....